Cynthia Marilyn Sitompul

Sabtu, 14 Mei 2016

Gadis Penaik Angkot

Aku adalah seorang laki-laki muda. Rambutku cepak, kulitku gelap, tubuhku berisi namun tidak tinggi. Aku memiliki sebuah kedai di persimpangan lampu merah. Sehari-hari aku menjaga kedai, berjualan rokok, jajanan, minyak, dan pulsa. Aku senang duduk di dalam kedai kecilku mengamati orang-orang yang melintasiku, baik yang berlalu maupun yang singgah menambah pemasukanku.

Suatu hari aku menemukan gadis penaik angkot. Aku melihatnya sejak dia mengenakan seragam putih biru, ah mungkin lebih muda lagi, ya putih merah. Sekitar jam 1, sehari-hari dia pulang dengan angkot bernomor 14 yang berhenti tepat di seberang kedaiku. Gadis penaik angkot itu bertubuh kecil, putih, rambutnya sering dikuncir, jarang tersenyum, terlihat serius, entah sedang memikirkan apa sambil menenteng ranselnya. Dia pulang bersama kakak dan adiknya, kadang juga ia sendiri.

Angkot berwarna kuning berhenti di seberang kedaiku. Seperti biasa, mereka turun, membayar ongkos dan berdiri di pinggir jalan. Mereka sangat berhati-hati, mengamati kiri kanan jalan, lalu menyeberang bersama. Sekilas mereka seperti menghampiriku. Ternyata bukan aku, tapi perumahan yang kubelakangi. Mereka sering berjalan kaki memasuki perumahan tersebut, terkadang juga menaiki becak yang sudah mereka kenal. Begitulah setiap hari dan di penghujung pertemuan kami, mereka pun berlalu.

Suatu siang, aku tunggu-tunggu dia, tidak biasanya dia pulang lebih lama. Akhirnya angkot yang bukan bernomor 14 berhenti dan dia turun. Ah dia sudah menggunakan seragam putih biru. Dia sudah lebih besar dari sebelumnya. Hari ini dia pulang bersama adiknya, besok dia pulang bersama kakaknya, lusa dia pulang bersama temannya. Hari ini dia berjalan kaki, besok dia dijemput ibunya, lusa dia menaiki becak. Tidak pasti lagi. Wajahnya terlihat semakin gelap, letih, dan ranselnya terlihat lebih berat. Akhirnya, di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

Melihatnya turun dari angkot menjadi rutinitasku selama lebih dari tiga tahun. Kuhitung-hitung seharusnya dia sudah tamat SMP. Namun, selama setahun aku tak pernah melihatnya lagi. Hingga suatu siang, angkot kuning berhenti di seberang kedaiku. Gadis penaik angkot muncul lagi. Benar perhitunganku, dia sudah menggunakan seragam putih abu-abu. Dia masih kecil, namun terlihat lebih manis dan lebih gemuk. Rambutnya tidak dikuncir lagi, lebih sering digerai. Terkadang dia pulang bersama temannya, terkadang ia sendiri. Terkadang banyak buku dipegangnya, terkadang ia menenteng sebuah alat musik, aku tidak tahu persis itu apa. Wajahnya sudah lebih ceria dan bersahabat. Dia menatapku, hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Dia pun tersenyum. Ah gadis penaik angkot tersenyum kepadaku. Dia masuk ke perumahan, dan di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

Dua tahun setelah itu gadis penaik angkot tidak muncul-muncul lagi. Aku bertanya di mana ia sekarang. Hingga suatu malam, dia turun dari angkot berwarna ungu mengenakan pakaian putih berompi karung beras, rok hitam, tas yang juga dari karung beras, dan rambutnya dikuncir banyak. Wajahnya begitu letih. Ah, dia sedang ospek rupanya. Hari ini dia mengabaikanku. Tidak hanya aku, matanya yang tajam serius menatap mobil-mobil dan terlihat hendak memakan siapapun yang tidak mempersilakan ia lewat. Pasti dia begitu lelah. Dia berjalan cepat, dan di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

Begitulah selama tiga hari. Di suatu siang, aku menemukannya lagi. Dia bersama teman-temannya yang terlihat asing bagiku. Ah teman barunya. Dia terlihat gembira sekali meski tubuhnya semakin kurus dan kulitnya semakin gelap. Dia pun masuk ke perumahan, dan di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

Aku memang masih sering melihatnya. Namun, kini dia tidak menaiki angkot lagi. Dia sudah bisa mengendarai motor berwarna putih. Ah dia masih saja kecil dibandingkan motor dan helmnya yang lebih besar dari tubuh dan kepalanya. Haha. Kalau dia tidak mengendarai motor, dia pulang bersama temannya. Kadang perempuan, kadang juga laki-laki yang berubah-ubah. Waktunya pun tidak teratur lagi, bisa pagi, siang, sore bahkan malam. Sekali lagi, di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku melihatnya turun dari angkot lagi. Dia semakin kurus, terlihat letih, namun sudah jauh lebih dewasa dan tenang. Rambutnya tergerai. Tas yang dijinjingnya terlihat semakin berat. Apakah ia sudah menamatkan kuliahnya dan bekerja? Aku tidak tahu. Aku selalu mengamati ketika ia menyeberang. Kali ini, akhirnya mata kami bertemu kembali.

Sebelum dia berlalu, di detik yang terhenti itu, aku ingin menceritakan sepenggal kisah padanya.
Gadis penaik angkot, gadis kecil yang menarik perhatian penjaga kedai, gadis kecil yang kini bertumbuh dewasa, gadis kecil dengan tatapan yang tajam, gadis kecil dengan ransel yang terlihat berat.. Entah esok dia tidak turun dari angkot lagi, semoga pertemuan bisu ini membawa arti. Aroma matahari dari tubuhnya, lelah yang tersurat di wajahnya, dan berat yang dipikulnya, semoga berbuah manis.. setidaknya, berbuah manis dari sudut lihatku.

Aku berhenti mengisah, gadis penaik angkot pun tersenyum. Dia terlihat seolah menghampiriku, namun di penghujung pertemuan kami, dia pun berlalu.

2 komentar:

  1. Setelah postingan sebelumnya pendek-pendekk.
    Dua terakhir ini panjang banget yahh hhiihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebelum ini pendek kok haha. thanks udh mampir di blog ane~

      Hapus