Pentingnya
Pendidikan bagi Anak Usia Dini
Kelompok 17 :
Cyntia Marilyn Sitompul 11-070
Here it is . . .
PENTINGNYA SOSIAL PADA ANAK USIA DINI
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan
dalam hubungan social anak usia dini. Dapat juga diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan
tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkomunikasi dan
bekerja sama.
Secara potensial (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan sebagi mahluk sosial
(zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam
interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain.
Perkembangan perilaku sosial anak ditandai dengan
adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang
kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak
bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau
dengan saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan
anggota-anggota keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa
kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama dengan
kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan
berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai
masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin
kuat. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
a. Sosialisasi pada masa awal masa kanak-kanak.
Menurut Hurlock, E.B. “salah satu tugas perkembangan
masa awal kanak-kanak yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman
pendahuluan yang diperlukan untuk menjadi anggota kelompok dalam akhir masa
kanak-kanak”. Jadi dalam masa kanak-kanak disebut sebagi masa prakelompok.
Dasar untuk sosialisasi diletakan dengan meningkatnya hubungan antara anak
dengan teman-teman sebayanya dari tahun ketahun. Anak tidak hanya lebih banyak
bermain dengan anak-anak lain tetapi juga lebih banyak berbicara.
Jenis hubungan sosial lebih penting daripada jumlahnya. Kalau anak menyenangi
hubungan dengan orang lain meskipun hanya kadang-kadang saja, maka sikap
terhadap kontak sosial mendatangkan lebih baik daripada hubungan sosial yang
sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih menyukai interaksi
dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan kecakapan sosial
sehingga mereka lebih populer daripada anak yang interaksi sosialnya terbatas.
Manfaat yang diperoleh anak dengan diberikannya
kesempatan untuk berhubungan sosial akan sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesenangan hubungan sosial sebelumnya. Yang umumnya terjadi pada masa ini
adalah bahwa anak lebih menyukai kontak sosial sejenis daripada hubungan sosial
dengan kelompok jenis kelamin yang berlawanan.
Antara usia dua dan tiga tahun, anak menunjukan minat
yang nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial
dengan mereka. Ini dikenal dengan bermain sejajar, yaitu bermain
sendiri-sendiri, tidak bermain dengan anak-anak lain. Kalaupun terjadi kontak,
maka kontak ini cenderung bersifat perkelahian, bukan kerja sama. Bermain
sejajar merupakan bentuk sosial yang pertama-tama dilakukan dengan teman-teman
sebaya.
Perkembangan selanjutnya adalah bermain asosiatif, di
mana anak terlibat dalam kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain.
Dengan meningkatnya kontak sosial , anak terlibat dalam bermain kooperatif,
dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi. Sebagian anak sudah
mulai bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan sebagi penonton,
mengamati anak lain bermain tetapi tidak berusaha benar-benar bermain
dengannya. Dari pengalaman mengamati ini, anak muda belia belajar bagaimana
anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya dalam berbagai
situasi sosial.
Kalau pada masa anak berusia empat tahun telah
mempunyai pengalaman sosialisasi pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar
permainan kelompok, sadar akan pendapat orang lain dan berusaha mendapatkan
perhatian dengan cara berlagak menonjolkan diri. Dalam tahun-tahun selanjutnya
ia memperhalus perilaku baru yang dapat diterima oleh kelompok teman-temannya.
Bentuk perilaku sosial yang berhasil tampak untuk penyesuaian sosial yang
berhasil tampak dan mulai berkembang dalam periode ini. Dalam tahun-tahun
pertama masa kanak-kanak bentuk penyesuaian ini belum sedemikian berkembang
sehungga belum begitu memungkinkan anak selalu untuk berhasil dalam bergaul
dengan teman-temannya. Namun periode ini merupakan tahap perkembangan yang yang
kritis karena pada masa inilah dasar sikap sosial dan pola perilaku sosial
dibentuk. Dalam penelitian longitudinal terhadap sejumlah anak, Wadrop
halperson dalam psikologi perkembangan Hurlock, melaporkan bahwa anak yang pada
masa usia 2,5 tahun bersikap ramah dan aktif secara sosial akan terus bersikap
seperti itu sampai usia 7,5 tahun. mereka menyimpulkan bahwa “sikap sosial pada
masa 7,5 tahun diramalkan oleh sikap sosial pada 2,5 tahun.
Secepat individu menyadari bahwa diluar dirinya itu
ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang
seyogyanya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk
menjadi mahluk sosial ini disebut sosialisasi.
Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan
untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus
belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini
diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa
lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses
perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek
kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan
memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut
sosialisasi.
Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar
yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat
menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
Sosialisasi dari orang tua ini sangatlah penting bagi anak, karena dia masih
terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya
sendiri ke arah kematangan.
Melalui pergaulan anak atau hubungan sosial, baik
dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa, dan teman sebaya lainnya,
anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada masa anak
menurut Syamsu Yusuf, bentuk-bentuk prilaku sosial itu adalah sebagai berikut :
a)Pembangkangan (negativisme), yaitu
bentuk tingkah laku melawan.
b)Agresi (Agresion), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal)
maupun kata-kata (verbal).
c)Berselisih atau bertengkar (quarelling), terjadi apabila anak merasa
tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain.
d)Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari agresif.
e)Persaingan (rivally)
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh,
perasaan-perasaan tertentu, seperti rasa senang atau tidak senang, suka atau
tidak suka, atau sedih dan gembira. Beberapa perasaan lainnya adalah gembira,
cinta, marah, takut, cemas, malu, kecewa benci.
Goleman (1997) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti hubungan
social yang baik. Apabila seseorangdapat menyesuaikan diri dengan suasana hati
individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
social serta lingkungannya. Goleman lebih lanjut mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosikonal tersebut, seseorang
dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur
suasana hati.
Selanjutnya, Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada
intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi
pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada
di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah dikatakan
bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai
perasaan diri sendiri dan orang lain dan menggapainya dengan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kegiatan pembelajaran, kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari. Unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari:
kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan social ( menangani suatu
hubungan), dan keterampilan social (kepandaian menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain).
KESIMPULAN
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan
dalam hubungan sosial. Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial,
dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul
dengan orang-orang dilingkungannya.Perkembangan sosial individu dimulai sejak
anak usia 18 bulan. Faktor lingkungan keluarga merupakan faktor yang paling
mempengaruhi perkembangan sosial anak, semakin bagus tata cara keluarga, maka
perkembangan sosial anak juga semakin bagus.
Perkembangan sosial juga sangat mempengaruhi
kepribadian anak, anak yang mempunyai daya intelegensi yang tinggi,
perkembangan sosial yang baik pada umumnya memiliki kepribadian yang baik.
Pentingnya
Emosional pada Anak Usia Dini
Sigmund Freud dalam studi tentang kepribadian
mengisyaratkan pentingnya pembentukan struktur kepribadian pada beberapa tahun
pertaa kehidupan. Memahami gejala emosi anak mendorong berbagai kalangan untuk
mengapresiasi kompleksitas kepribadian anak usia-dini dan nilai ilmiah serta
praktis tentang kepribadian individu.
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah
“An emotion, is a affective experience that accompanies generalized inner
adjustment and mental and psychological stired up states in the individual, and
that shows it self in his evert behavior.” Jadi, emosi adalah warna afektif
yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan
fisik seseorang, seperti:
a.reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona;
b.peredaran darah bertambah cepat bila marah;
c.denyut jantung bertambah cepat bila terkejut;
d. bernapas panjang kalau kecewa;
e. pupil mata membesar bila marah;
f. air liur mongering bila takut atau tegang;
g. bulu roma berdiri bila takut;
h. pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau
tegang;
i. otot menjadi tegang atau bergetar (tremor);
j. komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih
aktif. (Fatimah, 2006:105).
Menurut Nurihsan (2007) Emosi itu dapat didefinisikan
sebagi suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa
(a stird up state) yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya
prilaku. Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan
tiga variable, yaitu : rangsanganm yang menimbulkan emosi (the stimulus
variable), perubahan-perubahan fisikologis yang terjadi bila mengalkami emosi
(the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atas terjadinya
pengalaman emosional itu. (the response variable). Ayang mungkin dapat dirubah
dan dipengaruhi atau diperbaiki (oleh para pendidik atau guru) adalah variable
pertama dan ketiga (the stimulus-response variables) sedangkan variablekedua
tidak mungkin karena merupakan proses fisiologis yang terjadi pada organisme
secara mekanis.
Menurut Nurihsan (2007) ada dua dimensi emosional yang
sangat penting diketahui para pendidik, terutama para guru, ialah:
1. senang tidak senang (pleasant-unpleasent), atau
suka tidak suka (like-dislike);
2. intensitas dalam term kuat-lemah
(strength-weakness) atau halus kasarnya atau dalam dangkalnya emosi
tersebut.
Hal-hal itu penting karena dapat memberikan motivasi
pengarahan dan integritas perilaku seseorang, di samping pula akan merupakan
hambatan-hambatan yang bersifat fatal.
Nurihsan mengutip pendapat Bridges (2007;154) menjelaskan proses perkembangan
dan diferensiasi emosional pada anak-anak sebagai berikut :
a. Pada saat dilahirkan setiap bayi dilengkapi
kepekaan umum terhadap rangsangan-rangsangan tertentu (bunyi, cahaya
temperature).
b. Dalam periode 3 bulan pertama ketidaksenangan dan
kegembiraan mulai didefinisikan melalui penularan) dari emosi orang tuanya.
c. Dalam masa 3-6 bulan pertama ketidaksenangan itu
berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian, dan ketakutan.
d. Sedangkan pada masa 9-12 bulan pertama kegembiraan
berdiferensiasi kedalam kegairahan dan kasih saying.
e. Pada usia 18 bulan pertama kecemburuan mulai
dideferensiasikan dari ketidaksenangan tadi.
f. Pada usia 2 tahun kenikmatan dan keasyikan
berdiferensiasi dari kesenangan.
g. Mulai usia 5 tahun, ketidaksenangan berdiferensiasi
di dalam rasa malu, cemas, dan kecewa; sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke
dalam harapan dan kasih saying.
Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya
dimensi-dimensi tersebut di-reinforcement secara conditioning melalui proses
belajar. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau terdapat siswa-siswa yang
membenci atau menyenangi guru atau bidang studi tertentu, bergantung pada
kemampuan guru untuk menyelenggarakan conditioning dan reinforcement
asfek-asfek emosional tersebut.
Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain
dalam mempengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan
kemampuan berpikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti
dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan
mengingat dan menghapal mempengaruhi reksi emosional. Dengan demikian, anak
menjadi rektif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada
usia yang lebih muda.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan anak. Metode belajar yang
menunjang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut.
a. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan
emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama
sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada
masa anak-anak sekolah. Pada masa balita yaitu sekitar anak usia 1-5
tahun anak-anak melakukan kegiatan yang bias mengekspresikan emosinya dengan
coba-coba sesuai dengan insting dan nuraninya. Seorang bayi apabila diberikan
mainan di depan mukanya dia akan tersenyum bahkan mulai tertawa dengan suara
khasnya, dan terkadang apabila benda mainan itu dijauhkan atau yang mengasuhnya
menjauhkannya maka sang anak menangis sebagai ekspresi dari kekecewaannya,
kemarahannya, dann keinginannya untuk melihat benda tersebut.
Anak yang sudah mulai bisa bergerak merangkak dia akan
mengekspresikan emosinya apabila dia sedang mencoba berbalik untuk tengkurap.
Anak akan mencoba terus-menerus membalikan tubuhnya, dan ketika dia tidak mampu
untuk membalikan tubuhnya biasanya dia menangis untuk mengekspresikan
keinginannya untuk diberi bantuan. Sedangkan pada anak yang sudah mulai belajar
berjalan dan berbicara yaitu sekitar umur 1,5 tahun lebih, dia sudah bisa
mengekspresikan emosi dirinya dengan lebih terarah sesuai dengan situasi yang
ada disekitarnya.
b. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang
membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode
ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
Ketika seorang anak melihat anak diatasnya main sepeda, dia akan mengekpresikan
keinginannya dengan mencoba meminjam atau mengadu kepada orang tuanya untuk
membelinya.
Pada anak sudah mulai sekolah dia akan lebih kelihatan dalam menampakan
ekspresi emosionalnya pada rekan yang baru dia kenal disekolah dan guru yang
ada disekolah tersebut. Makanya cara pengajaran yang efektif bagi pendidikan
anak usia dini dan pendidikan dasar adalah dengan cara memberikan contoh,
apalagi pada kegiatan etika seperti membiasakan anak untuk sun tangan pada guru
dan orang tuanya. Dia akan meniru orang tua, guru, kaka kelas disekolah dan
teman-temannya. Ketika orang tuanya sedikit-sedikit marah ketika ada masalah,
atau gurunya juga sering menegur dengan marah-marah, kak kelasnya juga seing
mengejek dan mencaci juga memarahi dia juga teman-temannya, maka anak akan
meniru cara-cara seperti itu untuk mengekspresikan emosinya pada orang lain.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang
tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan
emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d. Belajar melalui pengondisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal
memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian
terjadi dengan mudah cdan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak
kecil kjurang mampu menalar, mengenal betapa tidak rasionalnya reksi mereka.
Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengondisian semakin
terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
e. Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika
suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi
terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi kemarahannya atau ekspresi
lain ketika ia beranjak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang
bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini akan memperhalus
perasaan merupakan petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dari latihan serta
pengendalian terhadap perilaku emosional.
Pembentukan Perilaku Afektif dan Kepribadian
a. Pengaruh Emosional terhadap Kesehatan
“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”.
Selogan ini menjadi alasan pada pembahasan ini, sebab pendidikan tidak berjalan
lancar apabila tubuh pelaku pendidikan tidak sehat.
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang menjadi gemetar. Dalam
ketakutan, mulut menjadi kering, jantung berdetak cepat, aliran darah/tekanan
darah deras sehingga system pencernaan terganggu. Cairan pencernaan atau getah
lambung terpengaruh oleh gangguan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan
relaks berfungsi sebagai alat pembantu mencerna, sedangkan perasaan tidak enak
atau tertekan menghambat atau menggangu pencernaan.
Diantara rangsangan yang meningkatkan kegiatan
kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau
kronis. Kegembiraan yang berlebihan, kecemasan, dan kehawatiran menyebabkan
menurunya kegiatan system pencernaan dan kadang-kadang menimbulkan sembelit.
Satu-satunya cara penyembuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab
ketegangan emosi. Radang pada lambung tidak busa disembuhkan, demikian pula
diare dan sembelit, jika factor-faktor yang menyebabkan munculnya emosi tidak
dihilangkan.
Gangguan emosi juga dapat menyebabkan kesulitan
berbicara. Ketergantungan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan
seseorang gagap. Seseorang yang agagap sering dapat normal berbicara jika dalam
keadaan relaks atau senang. Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi
yang menyebabkan kebingungan maka akan menunjukan kegagapannya.
Perilaku ketakutan, malu-malu atau agresif dapat
disebabkan ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda
terhadap setiap orang yang kita jumpai maka timbul emosi tertentu. Seorang
siswa bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi
karena sesuatu yang terjadi pada situasi belajar dikelas. Jika ia merasa malu
karena gagal dalam menjawab soal tes lisan, pada kesempatan lain, ia mungkin
menjadi takut ketika menghabisi tes tertulis. Akibatnya, ia memutuskan
membolos, atau mungkin melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu
melarikan diri dari orang tua, guru, atau dari otoritas lain.
Dengan demikian, gangguan emosional dan frustasi
mempengaruhi efektivitas belajar seseorang. Seorang anak disekolah akan belajar
lebih giat dan efektif bila ada motivasi. Selanjutnya ia akan mengembangkan
usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Rasa senang karena berhasil
mencapai prestasi akan mengurangi rasa takut dan kelelahan. Karena reksi
setiapsiswa tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus
disesuaikan dengan kondisi emosional anak. Rangsangan-rangsangan perasaan tidak
menyenangkan akan mempengaruhi hasil belajar dan sebaliknya rangsangan yang
menghasilkan perasaan menyenangkan akan mempermudah dan meningkatkan motivasi
belajar.
Nurihsan (2007:155) berpendapat dimensi-dimensi emosional dapat
diidentifikasikan pengaruh dan manifestasinya kedalam berbagai kecenderungan
bentuk perilaku seperti sikap-sikapnya untuk menolak-menerima,
mendekati-menjauhi, berbuat atau tidak berbuat (diam), menghargai-tidak
menghargai, mempercayai-tidak mempercayai, bahkan lebih dalam lagi
meyakini-tidak meyakini terhadap objek-objek (termasuk dirinya) baik nyang
bersifat material maupun non material atau manusiawi dan non-manusiawi.
Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan
emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam belajar-mengajar ataupun kegiatan
lainnya.
a. Mengendalikan emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosikonal. Pada tahap ini
diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan
psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan
yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak
peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan
keputusan masalah.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar
terungkap dengan tepat.Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada
kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri
ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau
ketersiggungan dan bangkit kembali dengan cepat. Sebaliknya, orang yang buruk
kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan
perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang negatif yang merugikan
dirinya sendiri.
c. Memotivasi diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri
melalui hal-hal berikut:
a. cara mengendalikan dorongan hati;
b. derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk
kerja seseorang;
c. kekuatan berpikir positif;
d. optimisme;
e. keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan
ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah
kepada apa yang sedang terjadi, pekerjaannya, hanya terpokus
pada satu objek. Dengan
kemampuan memotivasi diri, seseorang cenderung memilikipandangan
yang positif dalam menilai
segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun
berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, ia akan
terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, apabila seseorang tidak mampu
menhyesuaikan diri dengan emosinya sendiri, ia tidak akan mampu menghormati
perasaan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain.
Seni dalam menjaga hubungan dengan orang lain merupakan
keterampilan social yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang
lain.
Pentingnya Kognitif oleh anak Usia dini
Pada aspek kognitif perkembangan anak nampak
pada kemampuannya dalam menerima , mengelola, dan memahami informasi informasi
yang sampai kepadanya . kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan
berbahasa maupun berbahasa lisan dan isyarat, memahami kata dan berbicara.
Pentingnya Fisik oleh anak usia dini
Perkembangan
Fisik Anak Usia Dini
Sebagai seorang anak dewasa, orang tua menantikan
tonggak penting seperti belajar bagaimana untuk berguling dan merangkak.
Masing-masing merupakan bagian dari proses perkembangan fisik. Proses
pematangan terjadi secara teratur, yaitu kemampuan keterampilan tertentu dan
umumnya terjadi sebelum mencapai tonggak lainnya.
Sebagai contoh, kebanyakan bayi belajar merangkak
sebelum mereka belajar berjalan. Namun, juga penting untuk menyadari bahwa
tingkat di mana tonggak ini dicapai dapat bervariasi. Beberapa anak belajar
berjalan lebih cepat dari teman sebaya mereka yang sama-usia, sementara yang
lain mungkin diperlukan waktu sedikit lebih lama.
Tahapan Perkembangan Fisik Anak Usia Dini
Pengembangan
Keterampilan
Sebagai seorang anak tumbuh, sistem saraf-nya menjadi
lebih matang. Karena ini terjadi, anak menjadi lebih dan lebih mampu melakukan
tindakan yang semakin kompleks. Tingkat di mana keterampilan motorik muncul
kadang-kadang merupakan kekhawatiran bagi orang tua. Pengasuh sering khawatir
tentang apakah anak-anak mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan pada
tingkat normal. Sebagaimana disebutkan di atas, harga mungkin agak berbeda.
Namun, hampir semua anak-anak mulai
memperlihatkan keterampilan motorik ini pada tingkat yang cukup konsisten
kecuali beberapa jenis kecacatan hadir.
Ada dua
jenis keterampilan motorik:
- Bruto (atau besar) keterampilan motorik melibatkan otot-otot yang
lebih besar termasuk lengan dan kaki. Tindakan yang membutuhkan
keterampilan motorik kasar meliputi berjalan, berlari, keseimbangan dan
koordinasi. Ketika mengevaluasi keterampilan motorik kasar,
faktor-faktor yang termasuk ahli melihat kekuatan, otot, kualitas gerakan
dan berbagai gerakan.
- Fine (atau kecil) keterampilan motorik melibatkan otot kecil di jari,
jari kaki, mata dan daerah lainnya. Tindakan yang memerlukan keterampilan
motorik halus cenderung lebih rumit, seperti menggambar, menulis, memegang
benda, melempar, melambai dan penangkapan.
Pertumbuhan
Fisik
- Otot besar berkembang sebelum otot kecil
tangan. Otot
tubuh dalam inti, kaki dan tangan berkembang sebelum mereka di jari dan.
Anak-anak belajar bagaimana melakukan bruto (atau besar) keterampilan
motorik seperti berjalan sebelum mereka belajar untuk melakukan denda
(atau kecil) keterampilan motorik seperti menggambar.
- Pusat tubuh berkembang sebelum daerah luar. Otot terletak di inti tubuh
menjadi lebih kuat dan mengembangkan lebih cepat dari yang di kaki dan
tangan.
- Pembangunan berjalan dari atas ke bawah, dari
kepala ke jari kaki. Inilah
sebabnya mengapa bayi belajar untuk menahan kepala mereka sebelum mereka
belajar cara merangkak.
Inilah hasil pekerjaan kelompok kami, mohon maaf apabila terdapat kesalahan
penggunaan kalimat ataupun yang lainnya, atas kesediannya membaca, kami ucapkan
terima kasih ..
Referensi :
Cahyani Ani.
Mubin, Psikologi perkembangan; cet I (Quantum Teaching, Ciputat Press Group,
2006).
Hurlock B Elizabeth, Developmental Psikologi; Mc Grow Hill, Inc, 1980, Alih
Bahasa, Istiwidayanti dan suedjarwo, Psikologi Perkembangan suatu pendekatan
sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta, Erlangga, tt.
LN Yusuf Syamsu; Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Nurihsan Juntika, 2007, Buku Materi Pokok Perkembangan Peserta didik ,
Bandung; Sekolah Pasca Sarjana (UPI)
Santrock, John W, Life-Span Development, WM, C Brown Comunication, Inc,
1995, Alih bahasa Achmad Chusairi, S.PSI, Perkembangan Masa Hidup Jilid I,
Jakarta, Erlangga, 2002.
Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan; (PT Raja Grafindo, : 2004).